Ditulis oleh Julian Rinaldi
Sumber Gambar: liveabout.com
“Membaca hanya akan bisa menggerakan pikiran dan ucapan semata. Akan tetapi, membaca yang disertai menulis, bisa menggerakkan dunia.” (Nurudin, 2009)
Karl Marx dan Hitler adalah sedikit contoh dari nyatanya kutipan tersebut. Lewat Das Kapital dan Manifesto Komunis, Karl berperan dalam pergerakan perubahan sosial selama lebih dari satu abad. Sedangkan Hitler melalui Mein Kampf berhasil membangun kedigdayaan dan membangun kekuatan Jerman dengan menggunakan sentimen ras arya dan Deutsch Uber Alles (Jerman di atas segalanya). Namun, kutipan tersebut rasanya menjadi kurang sempurna jika harus disematkan untuk jurnalis musik. Untuk itu, kutipan tersebut haruslah ditambah dengan “Mendengar” karena dari mendengar sebuah penilaian terhadap musik akan lahir dari seorang jurnalis musik.
Adalah Nuran Wibisono yang mencoba menggerakan dunia musik lewat kumpulan tulisannya yang bermuara di buku Nice Boys Don’t Write Rock n Roll : Obsesi Busuk Menulis Musik 2007–2017. Kumpulan tulisan itu ia tulis selama dia berkarir sebagai seorang jurnalis musik. Wacana musik sebagai salah satu potensi pendulang pundi-pundi lewat ekonomi kreatif hingga kisah dari Galang Rambu Anarki menjadi pembahasan dalam buku ini. Dan tentunya pembahasan lain yang menjadi jantung buku ini adalah kisah tentang Hair Metal dan para pahlawannya.
Kaset Dewa 19, album Pandawa Lima (1997) menjadi kaset pertama yang dia dapat dari ayahnya. Dia tumbuh kembang menjadi remaja yang kemudian terhisap ke dalam lingkaran Hair Metal. Motley Crue, Skid Row, Guns n Roses, hingga Jim Morrison menjadi pahlawan yang dimunculkan dalam hidupnya. Mendengarkan Motley Crue sedari Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadikan dia jatuh cinta dengan musik bergenre Hair Metal. Hingga dia dipertemukan dengan salah satu mimpinya -yang ia dapat dari film Almost Famous– sebagai seorang jurnalis musik.
Nuran menjadi seorang penulis yang ugal-ugalan dan memiliki selera humor yang khas. Selera humor Nuran yang menyentil dan spontan menjadi unsur kejutan tersendiri yang terkadang membuat kita tersedak ketika membacanya. Seperti halnya ketika Nuran membahas mengenai ukuran penis Tommy lee (drummer Motley Crue) yang disebutkan dalam bukunya bisa membuat bintang porno lainnya minder. Selera humor Nuran yang terkesan menyentil pun bisa ditemui ketika dia membahas mengenai Iwan Fals. “Iwan Fals dan Kopi itu” menunjukan sentilan Nuran terhadap Iwan Fals yang kini menjadi bintang iklan sebuah merek kopi.
Selain menawarkan selera humor Nuran yang terkesan menyentil, buku ini memiliki sebuah warisan yang nantinya memiliki peranan penting bagi Slank dan Slankers. Warisan itu tertuang ke dalam lima tulisan yang disertakan di buku ini. Mulai dari cerita Bunda Iffet dan setiap keping kenangannya bersama Slank hingga cerita dari Karyana alias Bob Potlot seorang penjual rokok di gang Potlot sejak 1982. Ke lima tulisan ini merupakan tulisan Nuran yang awalnya diperuntukan untuk buku biografi Slank yang saat itu ia garap dengan Puthut EA. Tetapi, pada akhirnya buku tersebut gagal menampakan diri dan berhenti di tengah jalan.
Layaknya sebuah kaset, Nuran menggunakan istilah side A hingga side F untuk penamaan setiap bab-nya. Jika kaset pada umumnya hanya memiliki 2 side, buku ini memiliki 6 side yang hasilnya menjadi buku dengan 569 halaman. Terbilang tak tanggung-tanggung Nuran dalam meluapkan segala kecintaannya terhadap musik (khususnya Hair Metal). Gaya bahasa yang bermacam mulai dari gonzo journalism,jurnalisme sastrawi, hingga artikel opini dia tawarkan dalam berbagai jenis tulisannya. Dengan penggunaan gaya bahasa tersebut, buku ini menjadi satu paket yang utuh dalam pembahasan mengenai musik. Namun, karena mungkin memang terlalu berapi-api dalam menulis, pada buku ini kerap kali ditemukan pembahasan yang secara benang merah sama dan bisa dipadatkan ke dalam satu tulisan yang utuh.
Sumber gambar: ritchieblackmoresrainbow.files.wordpress.com
Hal lain yang menurut saya sedikit mengurangi nilai buku ini adalah tidak adanya tanggal tulisan di setiap tulisannya. Mengingat buku ini adalah kumpulan tulisan mengenai obsesi busuk Nuran dalam menulis musik pada 2007 hingga 2017, tanggal penulisan menjadi penting agar pembaca dapat mengikuti alur pembahasan pada setiap tulisannya. Tanggal penulisan pun menjadi penting dalam penentuan konteks pembahasan agar tidak membingungkan. Karena dalam beberapa tulisannya, Nuran menulis artikel dari beberapa musisi lokal baru seperti Silampukau, Sangkakala, dan GRIBS.
Jika dibandingkan dengan buku Taufik Rahman yang berjudul Lokasi Tidak Ditemukan : Mencari Rock n Roll Sampai 15.000 Kilometer, kedua buku ini sama-sama menarik dalam pengupasan hal-hal mengenai musik. Hanya saja, pada bukunya, Taufik Rahman dapat mengupas lebih dalam soal musik dan beberapa wacana di dalamnya. Terutama soal musik punk, rock n roll, hingga dangdutnya Rhoma Irama yang disebutkan memiliki petikan gitar ala heavy metal. Walau hanya berjumlah 167 halaman, Taufiq dapat mengupas hal-hal mengenai musik lebih dalam. Namun, buku Nuran lebih unggul dalam pemilihan diksi dan data yang menjadikan tulisannya menjadi komprehensif dan mudah dicerna. Memang menjadi sebuah hal yang tidak adil jika buku ini dibandingkan dengan buku Taufiq Rahman karena kedua penulis ini memiliki ketertarikan jenis musik yang berbeda. Namun, kedua buku ini menjadi buku wajib yang harus dibaca bagi kalian yang memang memiliki ketertarikan dalam dunia musik. Kedua buku ini mampu menghadirkan perspektif lain dalam dunia musik yang senantiasa dapat membuka cakrawala baru tentang pengetahuan musik anda.
Nuran Wibisono kini telah menjadi cerminan nyata dari kutipan “Membaca hanya akan bisa menggerakan pikiran dan ucapan semata. Akan tetapi, membaca dan mendengarkan yang disertai menulis, bisa menggerakan dunia” (terutama dunia musik Indonesia).
Data Buku
Buku: Nice Boys Don’t Write Rock n Roll : Obsesi Busuk Menulis Musik 2007–2017
Penulis: Nuran Wibisono
Penyunting: Samack
Pengantar Philips Vermonte
Penerbit: EA Books, 2017
Translated by Muhammad Azka Muharam
Image Source: liveabout.com
“Reading will only be able to move thoughts. However, reading accompanied by writing can move the world.” (Nurudin, 2009)”
Karl Marx and Hitler are a few examples of the reality of these quotes. Through Das Kapital and the Communist Manifesto, Karl played a role in social change movements for more than a century. Meanwhile, Hitler, through Mein Kampf, succeeded in building superiority and building German strength by using the sentiments of the Aryan race and Deutsch Uber Alles (Germany above all). However, this quote is lacking more than perfect if it has to be pinned for music journalists. For this reason, adding the word “Listening” would be much more suitable.
Nuran Wibisono is trying to move the world of music through his collection of writings. Compiled in the book: Nice Boys Don’t Write Rock n Roll: The Rotten Obsession of Writing Music 2007–2017. He wrote this collection of writings during his career as a music journalist. From topics like music as a potential for earning money in the creative industry to the story of Galang Rambu Anarki is discussed in this book. Another discussion at the heart of this book is the story of Hair Metal and its heroes.
Dewa 19 cassette, Pandawa Lima album (1997) was the first cassette he got from his father. He grew into a teenager who was exposed to the Hair Metal circle. Motley Crue, Skid Row, Guns n Roses, and Jim Morrison became the heroes that appeared in his life. Listening to Motley Crue in Junior High School made him fall in love with the Hair Metal genre. Until one day, he met one of his dreams – which he got from the film Almost Famous – to become a music journalist.
Nuran is a reckless writer and has a unique sense of humor. Nuran’s touchy and spontaneous sense of humor is an element of surprise that sometimes makes us choke when we read it. Like when Nuran discussed the size of Tommy Lee’s penis (drummer Motley Crue) mentioned in his book, it can make other porn stars feel inferior. Nuran’s sense of humor can also be found when he talks about Iwan Fals. “Iwan Fals and that Coffee” shows Nuran’s touch on Iwan Fals, now an advertisement star for a coffee brand.
Apart from offering Nuran’s sense of humor, which seems flirtatious, this book has a legacy that will later have an essential role for Slank and Slankers (a legendary Indonesian rock band). This legacy is poured into the five writings included in this book. It starts from the story of Mother Iffet and every piece of her memories with Slank to the story of Karyana alias Bob Potlot, a cigarette seller in Potlot alley since 1982. These five writings are Nuran’s initially intended for a biography of Slank, which he worked on with Puthut EA then. However, in the end, the book fails to reveal itself and stops halfway.
Like a cassette, Nuran uses the terms side A to side F to name each chapter. If cassettes generally only have two sides, this book has six sides, resulting in 569 pages. Nuran is relatively unmitigated in expressing all his love for music (especially hair metal). He offers a variety of language styles, from gonzo and literary journalism to opinion articles, in his various types of writing. With the use of this style of language, this book becomes a complete package for discussing music. However, because he is too passionate about writing, discussions are often threaded together in this book. He can condense them into one complete writing.
Source Image: ritchieblackmoresrainbow.files.wordpress.com
Another thing that slightly reduces the value of this book is the absence of writing dates in each of his writings. Considering that this book is a collection of writings about Nuran’s rotten obsession with writing music from 2007 to 2017, the date of writing is essential so that readers can follow the flow of discussion in each of his writings. The date of writing is also necessary for determining the context of the debate to avoid getting confused. Because in some of his writings, Nuran wrote articles from several new local musicians, such as Silampukau, Sangkakala, and GRIBS.
Compared with Taufik Rahman’s book Location Not Found: Searching for Rock n Roll Up to 15,000 Kilometers, these two books are equally attractive in discussing matters regarding music. It’s just that, in his book, Taufik Rahman can explore music more deeply and some of its discourses. Especially regarding punk music, rock n roll, to dangdut from Rhoma Irama, which is said to have heavy metal guitar playing. Even though there are only 167 pages, Taufiq can explore things about music more deeply. However, Nuran’s book is superior in selecting diction and data, making his writing comprehensive and easy to digest. It would be unfair to compare this book with Taufiq Rahman because the two writers have different musical interests. However, these two books are mandatory books that we must read for those of you who do have an interest in the world of music. These two books can present another perspective in the world of music which can always open new horizons about your musical knowledge.
Nuran Wibisono has now become a true reflection of the quote, “Reading can only move one’s thoughts and speech. However, reading and listening accompanied by writing can move the world” (especially the world of Indonesian music).
Book Data
Title: Nice Boys Don’t Write Rock n Roll : Obsesi Busuk Menulis Musik 2007–2017
Author: Nuran Wibisono
Editor: Samack
Introduction: Philips Vermonte
Publisher: EA Books, 2017