Expanded Perspective: Séjour Home Office
An Introduction, Home Office
The term home office is an idea in its own right; a spatial reality within a limited context where it continually twists and turns itself for different purposes. This capricious and interchangeable space in a way is resistance, that may as well bring to one’s senses the shackles of the modern world, where expected polarizing ideas are foundations to its economy. Live or work, leisure or productivity, family or company, artist or accountant, weekend or weekday, and the list goes on. Here, in this antagonism which society might initially seek to divide the abstracts, we believe idea as simple as the home office is, in turn, a somewhat response to the blessing of the in-betweens, where each individual has a fair share of their authentic life. To begin with, we are grateful to rediscover the situation where we could have both; an executive meeting in shorts, a coffee break that takes a bit too long, or home cooking that may convince a client.
The truck driver is at home on the highway, but he does not have his shelter there; the working woman is at home in the spinning mill, but does not have her dwelling place there; the chief engineer is at home in the power station, but he does not dwell there. These buildings house man. He inhabits them and yet does not dwell in them, when to dwell means merely that we take shelter in them…” (Heidegger, 1971)[2]
Heidegger explains that building, dwelling, and thinking belong altogether within the same domain, and that might also include the labour. Yet, the labour often exiled the sense and the meaning of dwelling, which makes most modern space merely the embodiment of singular labour takes place within it; the relationship which seems inseparable, especially in today’s context. To the contrary, many will consider it taboo to bring the works home too. As tough the antipathy to share the strives and struggle on the dining table. As tough the awkwardness to connect the business with the familial. Among the concerns of this ‘traditional’ modernity, there is another recurrent motive for domestic alienation. To say the least, it is not wrong to say that household from which the traces of its daily resources have almost totally obscured, might seek only the face value, the function, and hardly the intimacy of their everyday.
The home office is not a new thing, though this could also be the timeliest takeaway from the year of stripping the global economy down to the minimal. In the home office, the spatial frees the dweller, disengages them from the urge to lag or progress too much, or to some extent, detours their consumption drives back to the domestic necessities. What makes a place a home office in terms of forms or types is none of our interests. The expanded roles of the space, the mixed-up memories invested within, and the constellation of things distributed all over it are the ones that count. When we first discussed the issue, we approached each other to reveal valuable aspects in our daily practice. We came to terms to finally use this exchange to celebrate the infra-ordinaries of our home office, the place we dwell in the most. The home office is here and there (or both), but the reason is always to stay in the present. Welcome, and make yourself at the home office.
[AA: Artiandi Akbar, AT: Achmad D. Tardiyana, FF: Fahmi Faisal, AH: Alif Hadien, TH: Tomy Herseta]
AA – Setelah disuguhin kopi mungkin pertanyaannya jadi lebih santai lagi nih Pak tertawa. Pertanyaan berikutnya; Merujuk pada pandangan arsitek-teoris Christian Norberg-Schulz, karya spekulatif arsitek Constant Nieuwenhuys yang berjudul “The New Babylon” memperlihatkan sebuah kekeliruan. Proposal desain yang memiliki sentimen marxist tersebut mengandaikan sebuah utopia di mana manusia dapat hidup bebas tanpa perlu bekerja, karena bagi Constant manusia sejatinya adalah Homo Ludens, mahluk yang selalu ingin bermain dan menghindari kebosanan. Bagi Norberg-Schulz, gagasan tersebut pada akhirnya hanya akan membuat manusia berkeliaran bebas, bergerak tanpa batas, dan pada akhirnya tidak memiliki rasa akan pentingnya rumah untuk berpulang. Bagaimana Pak Apep meyikapi dua pandangan tersebut?
AT – Saya mungkin agak punya kecenderungan itu ya, terhadap spekulasi yang dilakukan Constant. Saya suka mencampur antara kegiatan rumah dengan kegiatan kantor. Anak saya sudah besar-besar, jadi ya istilah pulang ke rumah itu juga mungkin agak sedikit berkurang. Kalau dulu kan pengen ketemu anak ketika mereka masih kecil. Sekarang sudah pada sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. Kadang-kadang jadinya saya bawa pulang kerjaan, di rumah masih kerja, yang menurut saya gak terlalu masalah juga. Karena buat saya juga kerja sebenarnya enjoyable. Itu semata-mata dapat saya katakan karena saya mengerjakan sesuatu yang saya suka. Dari dulu, dari zaman kecil saya ingin jadi arsitek, dan kebetulan tercapai. Sehingga pada saat saya bekerja itu saya sebetulnya menikmati sesuatu. Bagi saya sedikit samar antara bekerja dan menikmati kesenangan di dalam pekerjaan. Mungkin buat sebagian orang nggak bagus kali ya, banyak orang pulang ke rumah ya istirahat, pulang saja. Nah, saya kadang-kadang nggak begitu, di rumah bisa saja masih sketsa-sketsa.
AA- Berarti bagi Pak Apep sendiri, tidak ada sebuah patokan ya kapan harus mulai dan berhenti bekerja?
AT – Mungkin bukan contoh yang bagus bagi yang punya pandangan berbeda, tapi saya pribadi memang nggak punya patokan yang kaku. Buat saya apa yang dikatakan oleh Constant tentang keinginan bermain itu ada relevansinya, tetapi perlu saya tambahkan mengenai unsur ‘kesenangan’ di situ, bukan hanya tentang permainan saja. Ada kesenangan-kesenangan dari apa yang kita kerjakan. Itu juga yang membuat saya tidak bisa memisahkan tempat kerja dan tempat tinggal.
AH – Menurut Pak Apep, kerja dan tinggal itu bukan masalah tempat ya?
AT – Begitu kayaknya. Saya kadang-kadang itu kalau sore di kantor dan lagi nggak pengen kerja, saya istirahat dari kerja, tapi pada akhirnya setelah lewat jam enam, jam tujuh, saya suka balik kerja lagi. Jadi jadwal itu juga memang lebih fleksibel. Saya tidak begitu ada di lingkungan kantor, kemudian langsung bekerja, seringkali saya hanya browsing atau membaca yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan. Saya yakin apa yang saya baca juga akan bermanfaat dengan apa yang akan saya kerjakan sebetulnya. Sering kali sore, biasanya jam empat, saya berhenti bekerja dan membaca buku, karena menurut saya itu bisa terus menambah inspirasi.
AA – Seperti Apakah rumah yang nyaman untuk bekerja, dan seperti apakah kantor yang nyaman dihuni bagi Pak Apep?
AT – Oke, buat saya ukuran akan rumah maupun kantor yang nyaman itu sering kali berbaur, saya memiliki kesulitan untuk membedakan kedua tempat tersebut. Jadi, sering kali di dua tempat ini harus terpaksa serupa pada akhirnya. Misalkan di rumah itu saya senang kalau ada meja yang sering kali saya pakai untuk menggambar. Kalau dapet ide saya langsung mengerjakan sesuatu di sana. Kemudahan akses menuju tempat menggambar dan buku biasanya yang membuat saya nyaman berada di Rumah. Demikian juga halnya di kantor, di kantor pun terpaksa saya menyediakan tempat-tempat yang seolah-olah seperti di rumah. Misalkan ada teras, ada sofa yang bisa saya pakai untuk break, karena sering kali saya bekerja sampai larut malam. Asalkan ada kedua fasilitas itu saya cukup merasa nyaman, di rumah maupun di kantor.
TH – Ada pembeda kah musik yang didengerkan di kantor atau di rumah?
AT – Sama saja tertawa. Mungkin itu tadi, saya tidak membedakan, musik ya musik saja. Nggak ada musik rumah, musik kantor.
FIN
roles of the space, the mixed-up memories invested within, and the constellation of things distributed all over it are the ones that count. When we first discussed the issue, we approached each other to reveal valuable aspects in our daily practice. We came to terms to finally use this exchange to celebrate the infra-ordinaries of our home office, the place we dwell in the most. The home office is here and there (or both), but the reason is always to stay in the present. Welcome, and make yourself at the home office.