Text by Kelana Ashil Siddhawira
Photo by Adam Katz Sinding
“Passion before fashion”, ungkapan yang digaungkan dalam lirik lagu “What Happened?” milik H2O. Dari klausa tersebut kita dapat memahami bahwa nilai, keyakinan, bahkan idealisme harusnya datang lebih dahulu daripada atribut yang mewakilinya. Lalu, apakah salah jika seseorang melanggar titah dari punggawa hardcore asal Amerika tersebut? bisa kita dapatkan jawabannya melalui teori Interaksi Simbolik, yang sebenarnya, sudah kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tentunya, mungkin sebelum kalian mengernyitkan dahi, penulis akan mencoba membawa tulisan ini secara santai. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa artikel yang sedang kalian baca bukanlah jurnal ilmiah.
Okay, mari kita masuk dari penjelasan apa itu Interaksi Simbolik. Teori ini ditemukan oleh George Herbert Mead pada tahun 1920-an yang kemudian dikembangkan salah satunya oleh Herbert Blumer hampir dua dekade setelahnya, 1937. Secara singkat, Interaksi Simbolik percaya bahwa kehidupan sosial kita dibentuk melalui interaksi antara simbol dan bahasa yang nantinya menjadi makna. Seperti ucap Ahmad Dhani, “ada makna tercipta dari sini,”.
Pertanyaannya adalah, bagaimana fafifu wasweswos ini bisa menjelaskan pertanyaan di paragraf pertama? lewat prinsip-prinsip di dalamnya, Min.
Salah satu bentuk paling nyata polemik “passion before fashion” mungkin adalah gejala penggunaan merchandise dari musisi yang digunakan oleh pendengarnya. Beberapa di antara kalian, pasti pernah melihat meme kurang lebih bertuliskan “wears a Ramones t-shirt, can’t name any of their songs”. Atau versi lainnya dari kaos Joy Division, “what is this? i seen it on Tumblr”.
Peter Saville holding the shirt created by Adam J. Kurtz. (Dominic Lipinski/PA Wire/Press Association Images)
Coba ingat alasan yang mendasari kalian mengoleksi merchandise dari musisi-musisi atau seniman kesukaan. Sebelum memutuskan membeli, umumnya kita mengetahui terlebih dahulu musisi atau senimannya, dong. Nah, dari situ, seiring dengan intensitas kita mengonsumsi karyanya, kita membentuk pemaknaan yang kemudian kita sematkan kepada musisi tersebut. Artinya, secara tidak langsung kita membeli (atau bootleg) pemaknaan yang tertempel pada sablonan merchandise musisi favorit tadi.
Ini dijelaskan oleh Blumer melalui prinsip pertama dari Interaksi Simbolik, bahwa kita bertindak berdasarkan pemaknaan yang kita ciptakan terhadap berbagai hal. Misalnya, Ian Curtis yang dalam aktivitas Joy Divisionnya menjunjung aspek kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemudian ia simbolkan saat bernyanyi di atas panggung, mengenakan pakaian selayaknya kelas pekerja yang tidak ingin membedakan diri dengan kita semua. Sosok yang menolak menjadi bintang pop tersilaukan dengan segala keglamorannya.
Source Photo: https://www.danielspoerri.org/giardino/de/artist/thomas-blumer/
Mari kita gunakan Joy Division lagi untuk memberi contoh pada prinsip pertama. Kamu membeli kaos Joy Division karena mengidolakan mereka, pengabdi aliran post-punk, mungkin bisa juga karena bentuk penghargaan pada Ian Curtis. Alasan-alasan tersebut adalah makna yang tercipta setelah berinteraksi melalui diskografi atau biografi dari Joy Division. Namun tiba-tiba kamu melihat seorang “semi-seleb” berpose mengenakan kaos bertuliskan “Unknown Pleasure” di lini masa Instagram. Bagi sebagian orang, insting utama yang terlintas adalah bertanya dalam benak, “dia beneran dengerin Joy Division gak sih?”.
Disini lah kita dapat mengimplementasikan prinsip kedua dari Interaksi Simbolik, bahwa satu hal yang sama dapat dimaknai berbeda bagi orang yang berbeda pula. Ketika kamu mengenakan kaos Joy Division, apakah orang yang tidak mengetahui band ini akan mengerti makna-makna yang kamu tujukan kepada Ian Curtis dan kawan-kawan? kemungkinan besar tidak. Bagi mereka, pemaknaannya mungkin “hanya” sebatas kaos dengan desain yang menarik (proficiat, Peter Saville!).
Mungkin ini bukanlah saran yang baik dari penulis, tapi jika kamu tergolong orang iseng, coba ketuk direct messagenya dan nyeletuk “eh suka Joy Division juga? udah nonton biopicnya Ian Curtis belum?”. Apapun jawabannya, sudah dapat kita mengerti melalui sebuah konsep yang lekat dengan teori Interaksi Simbolik, bernama shared meaning. Konsep ini merupakan pemaknaan bersama terhadap suatu hal yang mempengaruhi cara kita berinteraksi. Singkatnya, shared meaning adalah simbol-simbol yang disepakati secara bersama oleh suatu kelompok.
Dari pertanyaan tersebut, kemudian muncul dua skenario. Pertama, si “semi-seleb” ini mengetahui dan ternyata memang mendengarkan Joy Division. Selamat! kamu baru saja mendapatkan teman baru untuk tukar playlist atau nonton gigs bareng. Skenario kedua, dia cuma pakai karena terlihat keren, trendy, serta niche. Lalu apa? apakah hal tersebut menyalahi norma penggunaan kaos band?
Berterima kasih lah pada Blumer cees karena prinsip nomor tiga akan menjawab pertanyaan tersebut. Ia menerangkan, makna yang kita ciptakan terhadap suatu hal nyatanya dapat berubah akibat dinamika kehidupan sehari-hari. Dalam kata lain, nilai, idealisme, dan pemahaman bukanlah sesuatu yang permanen, interaksi dapat menjadikan identitas individu berbeda bagi individu lainnya.
Dari penjelasan di atas, kamu menjadi punya jawaban atas pertanyaan “dia memang dengerin band anu gak sih?” dan pilihan untuk bertindak setelahnya. Kamu bisa menjadi teman yang baik untuk berdiskusi tentang band kesukaanmu, lalu berharap lawan bicaramu memiliki pemaknaan yang sama. Kamu juga bisa abai saja karena mengetahui bahwa hal ini hanya perbedaan pemahaman. Jika dirasa sebagai suatu kesalahan, maka pilih cara yang pertama akan lebih baik. Yang jelas, jangan sekonyong-konyong menghampiri lalu menyuruh untuk sebutkan tiga lagu dari band yang bajunya dia pakai.
Ini sesuai dengan premis dari Interaksi Simbolik itu sendiri, bahwa makna adalah produk dari interaksi sosial yang dapat dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Jadi, jika kamu resah karena ada seseorang yang mendahului fashion dibanding passion yang menurut kamu penting, maka negosiasikan lah.
Artinya, interaksi kita dengan manusia lain dapat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang dapat berubah seiring waktu. Fashion bukanlah pengecualian, amati bagaimana seseorang yang awam dengan sub-budaya Mods lambat laun seiring interaksi dengan kelompok tersebut mulai mengenakan pantofel, jaket parka, memotong rambut ala Paul Weller, dan bahkan menabung untuk membeli Vespa atau Lambretta.
Tentu saja, kita bisa menggunakan fashion sebagai identitas terhadap passion yang selalu menjadi genggaman dalam diri. Misalnya, ketika kita mencoret “X” di balik telapak tangan untuk menunjukan bahwa dirimu adalah seorang straight edge. Sayangnya, hal tersebut hanya akan berlaku untuk orang-orang yang ada dalam sistem shared meaning yang sama, seperti gigs kolektif dengan sistem suara seadanya, alias punk. Maka, jangan berharap seorang teller bank mengerti maksud “X” di tangan ketika sedang melakukan pembukuan rekening.
Terima saja pada situasi tertentu, fashion hanya sebatas fashion ketika orang-orang di sekitarmu tidak memiliki passion yang sama. Jika ada yang membuatmu geram karena menggunakan baju band kesukaanmu tanpa mengetahui lagunya, cukup membatin “oh, dia tidak di sistem shared meaning yang sama” dan dunia akan tetap berjalan sebagai mana seharusnya. Lagi pula, percaya saja bahwa ini hanyalah tren, sebagaimana tren selalu memiliki masa kadaluarsa.
Referensi
Ahmadi, D. (2008). Interaksi simbolik: Suatu pengantar. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(2), 301-316.
Blumer, H. (1962). Society as symbolic interaction. Contemporary Sociological Thought, 91.
McCall, M. M., & Becker, H. S. (Eds.). (1990). Symbolic interaction and cultural studies. Chicago: University of Chicago Press.
Translated by Muhammad Azka Muharam
Photo by Adam Katz Sinding
Symbolic Interaction: Is Passion Always Before Fashion?
A column by Kelana Ashil Siddhawira
“Passion before fashion” is a loud phrase quoted from the H20 song “What Happened?” From this clause, we can understand that values, beliefs, and even ideals should come before the attributes that represent them. Then, is it wrong if someone violates the order of the American hardcore courtier? We can get the answer through the theory of Symbolic Interaction, which we constantly encounter in everyday life.
Of course, before you start to frown and get confused, the author will try to take this article casually. That way, you can ensure that you are not reading this like a scientific journal.
Okay, let’s get into the explanation of what Symbolic Interaction is. George Herbert Mead discovered this theory in the 1920s, which was later developed by Herbert Blumer almost two decades later, in 1937. In short, Symbolic Interaction believes that our social life is shaped through the interaction between symbols and language, which later becomes meaning. Just like Ahmad Dhani said, “there is a meaning created from here.”
The question is, how does this “fafifu wasweswos” answer the question in the first paragraph?
One of the most prominent forms of “passion before fashion” polemic is perhaps the phenomenon of using band merchandise by their fans/listeners. Some of you must have seen a meme with this saying: “wears a Ramones t-shirt, can’t name any of their songs.” Or another version of the Joy Division t-shirt, “what is this? I have seen it on Tumblr”.
Peter Saville holding the shirt created by Adam J. Kurtz. (Dominic Lipinski/PA Wire/Press Association Images)
Try to remember again the reasons that underlie you collecting merchandise from your favorite musicians or artists. Before buying it, we generally know the musician or artist first. So, along with the intensity of consuming their work, we form meanings that we then attach to the musician. Thus, we indirectly buy or bootleg the meaning attached to the design on our favorite band tees.
This phenomenon is explained by Blumer through the first principle of Symbolic Interaction, that we act on the meanings we create for things. For example, Ian Curtis upholds aspects of everyday life in his Joy Division activities. He then symbolizes this when he sings on stage, wearing clothes like working-class people who don’t want to differentiate themselves from the rest of us. The figure who refuses to become a pop star is dazzled by glamor.
Source Photo: https://www.danielspoerri.org/giardino/de/artist/thomas-blumer/
Let’s use Joy Division again to give an example of the first principle. You bought a Joy Division t-shirt because you idolize them, devotees of the post-punk genre, maybe because of a tribute to Ian Curtis. These reasons are the meanings created after interacting with the discography or biography of Joy Division. But suddenly, you see a “semi-celebrity” posing wearing a t-shirt that says “Unknown Pleasure” on Instagram’s timeline. For some people, the first thing that comes to mind is to ask themselves, “Did he really listen to Joy Division?”.
This is where we can implement the second principle of Symbolic Interaction. We can interpret the same thing differently for different people. When you wear a Joy Division t-shirt, will people who don’t know the band understands the meaning that Ian Curtis conveys? Well, most likely not. For them, people may “only” limit the meaning to a t-shirt with an attractive design (thanks, Peter Saville!).
Maybe this isn’t a good suggestion from the author, but if you’re a fad, try to send a direct message and tap “uh, so, you like Joy Division too? Have you watched Ian Curtis’ biopic yet?” Whatever the answer, we can understand it through a closely related concept to Symbolic Interaction theory, called shared meaning. This concept is a shared meaning of something that affects how we interact. In short, shared meanings are symbols mutually agreed upon by a group.
From these questions, two scenarios emerged. First, this “semi-celebrity” knew and actually listened to Joy Division. Congratulations! You just made a new friend to share playlists or watch gigs together. The second scenario, he only uses it because it looks cool, trendy, and niche. So what? Does this violate the norms of using band t-shirts?
Thanks to Blumer and co. Because principle number three will answer the question. He explained that the meaning we create for something could change due to the dynamics of everyday life. In other words, values, idealism, and understanding are not permanent. Interactions can make an individual’s identity different from other individuals.
From the explanation above, you will have an answer to the question “Did he really listen to that band?” and the choice to act afterward. You can be a good friend to discuss your favorite band, then hope the other person has the same meaning. You can also ignore it, knowing that this is just a difference of understanding. If it feels like a mistake, choosing the first way will be better. Do not suddenly approach and ask to name three songs from the band from clothes he wore.
By the premise of Symbolic Interaction, meaning is a product of social interaction that everyone can negotiate through language. So, if you’re worried because someone is ahead of fashion compared to your passion that you think is essential, then negotiate.
Our interactions manifest in certain symbols that can change over time, and fashion is no exception. Observe how someone unfamiliar with the Mods sub-culture gradually interacts with the community. They begin to wear loafers, parkas, get a Paul Weller haircut, and even save up for a Vespa or Lambretta.
Of course, we can use fashion as an identity towards the passion that everyone has inside. For example, when we cross “X” on the back of the palm to show that you are a straight edge. Unfortunately, this will only apply to people in the same shared meaning system, such as collective gigs with a makeshift sound system, a.k.a punk. So, don’t expect a bank teller to understand the meaning of the “X” in the hand when visiting the bank.
Just accept that in certain situations, fashion is fashion when the people around you don’t have the same passion. If something upsets you for wearing your favorite band’s outfit without knowing the song, think, “oh, he’s not on the same shared meaning system,” and the world will continue as it should be. After all, believe that this is just a trend, as trends always have an expiration date.
Reference
Ahmadi, D. (2008). Symbolic interaction: An introduction. Mediator: Journal of Communication, 9(2), 301-316.
Blumer, H. (1962). Society as symbolic interaction. Contemporary Sociological Thought, 91.
McCall, M. M., & Becker, H. S. (Eds.). (1990). Symbolic interaction and cultural studies. Chicago: University of Chicago Press.